Ada Apa Dengan TV Rating di Indonesia
Ada Apa Dengan TV Rating di Indonesia
Revolusi digital mempengaruhi berubahnya pertelevisian serta budaya menonton.
Planet Merdeka - INRATE menyelenggarakan seminar nasional yang khusus membahas tentang seluk-beluk TV rating Indonesia.
Keempat pembicara tersebut adalah Ananto Pratikno (former country manager Nielsen Indonesia), Achjuman Achjudi (praktisi dunia rating televisi), Hartana (CEO INRATE) dan Deddy Mizwar (aktor dan produser film).
Diskusi yang dipandu oleh dewan pakar Instrat (Indonesia Strategic Institute), Sidrotun Na’im, mengulas dunia rating dan revolusi digital yang mempengaruhi berubahnya pertelevisian serta budaya menonton.
Ananto Pratikno, dengan pengalamannya bertahun-tahun di Indonesia memaparkan bagaimana revolusi gaya menonton televisi di era digitalisasi.
Perubahan tren menonton terkonsentrasi pada audiens yang berusia 5 – 35 tahun (atau yang lebih dikenal dengan Milennial dan Gen-Z), dalam istilah periklanan disebut dengan the biggest chunk of the market. Segmen tersebut yang berpindah (shifting) dari televisi konvensional ke media digital.
2 dari 3 halaman
Tantangan industri TV terhadap kelompok millenial
Tantangan utama pada kelompok millennial yang harus diantisipasi oleh industri media dan lembaga TV rating adalah 9 (Sembilan) karakter millennial dan Gen-Z. Di antaranya adalah:
- Budaya kecanduan internet.
- Tidak memiliki loyalitas terhadap merk (brand) tertentu.
- Tingkat pendapatan yang relatif kecil
- Terbiasa dengan aktifitas berlibur
- Memiliki etos kerja yang cepat dan cerdas.
- Multitasking.
- Spatis terhadap politik.
- Cenderung lebih suka berbagi mengikuti prinsip ekonomi berbagi (sharing economy).
- Karakter yang berdampak pada perubahan kebiasaan menonton inilah yang menjadi tantangan utama industri TV, periklanan, dan media.
Perkembangan media digital, Indonesia relatif sedikit tertinggal dari negara-negara lain, tetapi ketika sebuah platform mendapatkan momentumnya, perkembangannya akan jauh melesat dan mengungguli negara-negara lain. Hal ini membuktikan media digital memiliki potensi yang besar di Indonesia.
3 dari 3 halaman
Bagaimana kemudian nasib TV rating di tengah ombak digitalisasi?
Menurut Achjadi, TV rating yang ada selama ini masih mengandung banyak kelemahan dan masih banyak peluang-peluang yang bisa dimaksimalkan dalam rangka melakukan pengukuran yang lebih akurat dan berkualitas. Misalnya, angka rating yang dihasilkan sebuah lembaga penilaian rating tidak mencerminkan daftar program yang disukai pemirsa.
Masalah lainnya yang diketahui bersama adalah dominasi tunggal lembaga pengukuran rating televisi, yang luput dari kritik dan masukan publik.
Idealnya, lembaga tersebut sendiri dikontrol dan diawasi oleh sebuah asosiasi yang dikenal dengan ATVSI dan PPPI. Sehingga, catatan perbaikan seperti ini dapat ditangkap sebagai sebuah kesempatan oleh lembaga pembanding di bidang sejenis.
Di era sekarang kebiasaan menonton dilakukan dengan banyak saluran. Pengukuran demikian yang sifatnya masih silo perlu digabungkan menjadi single source karena kedepannya TV rating ini masih relevan dan sangat diperlukan guna mendapatkan data yang bias mewakili tren menonton dari audiens sekarang.
Deddy Mizwar menekankan pentingnya keberadaan lembaga pembanding yang bisa menyajikan hasil pengukuran alternatif.
Tren digitalisasi tidak bisa dihindari dan tren TV konvensional terus turun jika tidak mengantisipasi dengan membuat media online.
TV rating sendiri masih diperlukan sebagai alat ukur yang konkret dan mendorong dinamika bisnis. Satu lembaga tunggal yang sangat mendominasi tidaklah sehat dalam sebuah iklim industry media dan pertelevisian.
Diakhir diskusi, Hartana menggarisbawahi budaya inovasi di inrate yang merambah dunia digital. Inrate merasa sangat siap untuk memanfaatkan big data agar memberikan insight yang lebih mendalam dalam mengukur rating televisi
Masalah lainnya yang diketahui bersama adalah dominasi tunggal lembaga pengukuran rating televisi, yang luput dari kritik dan masukan publik.
Idealnya, lembaga tersebut sendiri dikontrol dan diawasi oleh sebuah asosiasi yang dikenal dengan ATVSI dan PPPI. Sehingga, catatan perbaikan seperti ini dapat ditangkap sebagai sebuah kesempatan oleh lembaga pembanding di bidang sejenis.
Di era sekarang kebiasaan menonton dilakukan dengan banyak saluran. Pengukuran demikian yang sifatnya masih silo perlu digabungkan menjadi single source karena kedepannya TV rating ini masih relevan dan sangat diperlukan guna mendapatkan data yang bias mewakili tren menonton dari audiens sekarang.
Deddy Mizwar menekankan pentingnya keberadaan lembaga pembanding yang bisa menyajikan hasil pengukuran alternatif.
Tren digitalisasi tidak bisa dihindari dan tren TV konvensional terus turun jika tidak mengantisipasi dengan membuat media online.
TV rating sendiri masih diperlukan sebagai alat ukur yang konkret dan mendorong dinamika bisnis. Satu lembaga tunggal yang sangat mendominasi tidaklah sehat dalam sebuah iklim industry media dan pertelevisian.
Diakhir diskusi, Hartana menggarisbawahi budaya inovasi di inrate yang merambah dunia digital. Inrate merasa sangat siap untuk memanfaatkan big data agar memberikan insight yang lebih mendalam dalam mengukur rating televisi
0 Response to "Ada Apa Dengan TV Rating di Indonesia"
Post a Comment