Anak Sekolah Kita Salah Asuhan(Didikan)?
Rabu, 12 November 2007 beberapa koran di Ibukota memberitakan tentang tren baru salah satu kebutuhan manusia dalam habluminnanas yaitu berserikat atau berkumpul. Ini adalah sunatullah bagi manusia yang diciptakan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Banyak orang memilih perkumpulan berdasarkan keinginan dan kebutuhan (needs and wants), seperti Komunitas Tangan Di atas (TDA) yang selalu ingin member dan melayani, partai politik untuk meraih kekuasaan, atau Geng SMU yang ingin mencari eksistensi diri. Semua sah-sah saja, yang menjadi masalah adalah jika tata cara atau Standard Operating Procedure yang diterapkan terdapat kejanggalan dan merampas hak-hak orang lain dengan pemaksaan, mengarah ke tindakan criminal, pecurian dll.
Tren baru itu adalah geng-geng yang pada tahun 1980-an marak di Indonesia, sekarang ini menjadi tren lagi. Salah satu sebab dari terbentuknya geng-geng tersebut karena energy yang tak tersalurkan dari para anak muda bangsa sehingga mereka menyalurkannya pada sasaran yang kurang tepat. Kurangnya perhatian orang tua dan pihak-pihak terkait seperti sekolah dan lingkungan (teman) menjadikan anak kurang imunisasi social sehingga terdiagnosa terjangkit sindrom awal penyakit social.
Lalu apa hubungannya dengan judul di atas? Ketika kita sekolah, harus jujur kita akui bahwa kita menukar anak kita dengan sejumlah uang tahunan atau bulanan dan kita serahkan anak kita kepada pihak sekolah untuk menjadikan anak kita menjadi orang baik. Orang tua seolah lepas tangan jika anak mengalami masalah dan cenderung untuk menyalahkan pihak sekolah karena kita orang tua sudah membayar mahal untuk menitipkan anak kita. Ini adalah pola pikir atau mungkin education system yang salah yang diterapkan oleh pemerintah. Pokoknya ini anak saya, saya bayar Rp, 5 juta per tahun dan Rp 100 ribu per bulan dan silakan buat anak saya jadi anak yang baik. Berat nian kerja guru, di samping imbalan yang kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Saya adalah orang yang tidak setuju dengan education system yang diterapkan oleh pemerintah. Porsi mendidika anak sebenarnya adalah tugas orang tua, bukan di-outsource 100% kepada pihak sekolah. Orang tua yang kekurangan pengetahuan akhirnya berbagi dengan pihak lain dalam hal ini sekolah untuk membantu orang tua mendidik anak-anaknya, sehingga sekolah pada dasarnya adalah tempat untuk melengkapi pengetahuan yang tidak dipunyai oleh orang tua. Apakah sekolah pemerintah kita pernah mengajarkan kita tentang Budi Pekerti, Mengucapkan Terima kasih, Berinfak pada hari Jumat, Menghafal Surat-surat pendek dalam Al Quran? Mendidik anak jika harus menggunakan jasa sekolah tetap harus pada porsi 50/50. 50% tugas orang tua dan 50% tugas guru, jadi jika ada masalah dengan anak maka harus diselesaikan oleh guru dan orang tua.
Everything is numbered. Semuanya dinomerin, diranking-in. Bahkan kemampuan murid yang berbeda latar belakang dan kemampuannya mudah sekali dicap bodoh karena belum bisa membaca ketika sudah menginjak kelas 2, atau bila rangkingnya ada diposisi 10 besar dari bawah dengan menggunakan distribusi normal. Bahkan baju muridpun diseragamkan seolah-olah murid adalah produk manusia yang nantinya akan diberi seragam persis seperti seragam pekerja di pabrik, seragam polisi dan tentara, seragam pegawai negeri, seragam pegawai pemda. Oooo.. ada garis merah antara seragam murid sekolah dengan beberapa pekerjaan yang saya sebut di atas, yang artinya memang murid-murid sekolah kita diajarkan untuk menjadi profesi-profesi yang berseragam seperti di atas. Maybe, ini adalah misi pemerintah agar murid menjadi pegawai negeri, buruh, polisi/tentara atau apapun yang berseragam.
Nggak heranlah kalau negeri ini anggaran pemerintah yang namanya APBN itu 70% peruntukannya adalah untuk belanja rutin pegawai (negeri), seperti ulasan Metro TV beberapa tahun yang lalu tentan Negeri Para Pegawai.
Benang merah antara sekolah berseragam, cita-cita berseragam dan anggaran pemerintah untuk membuat seragam pegawai kait mengait satu sama lain.
Apa ada yang salah? Nggak tahu lah gelap. Ternyata susah juga mikiran Negara. Gimana mau memenuhi 20% anggaran pendidikan, kalo 70% sudah dipakai untuk belanja rutin pegawai?
Wassalam,
Ananto, 12 November 2007.
1 Response to "Anak Sekolah Kita Salah Asuhan(Didikan)?"
Yang ini juga saya link di posting saya yang ini (http://saciganjur.blogspot.com/2008/03/cerita-seleksi_08.html) ya...
Makasih
Post a Comment